Rabu, 11 Mei 2016

Resensi Novel "Di Bawah Lindungan Ka'bah" karya Hamka



RESENSI NOVEL
DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH
oleh: Asri Dyarti
 

1. Identitas Buku
  • Pengarang                   : Hamka
  • Judul                           : Di Bawah Lindungan Ka’bah
  • Tahun Terbit                : 2002
  • Cetakan                       : 28
  • Tempat Terbit              : Jakarta
  • Penerbit                       : PT. Bulan Bintang
  • E-mail                          : bulanbintang@muslimonline.com
  • Website                       : http:www.bukubulanbintang.com

2. Kepengarangan
            Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia. Buya HAMKA juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun. (Sumber: http://bio.or.id/biografi-buya-hamka/)


3. Gambaran Umum Isi Novel
            Novel ini dibintangi oleh beberapa tokoh, yaitu Hamid, Shaleh, Pak Paiman, Mak Asiah, Haji Ja’far, Zainab, Ibu, Rosna, dan Saya. Tokoh sentral dari novel ini adalah Hamid dan Zainab, sementara tokoh Saya di sana, hanya sebagai si pencerita saja.
            Ini adalah pengalaman tokoh Saya pada saat menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekah. Cerita ini bermula dari kedatangannya ke tanah suci, yang kebetulan menumpang di rumah salah satu penduduk di sana yang biasa disebut dengan sebutan syekh. Di sana, tokoh Saya mendapatkan teman baru, yang kebetulan sesama bangsa Indonesia. Teman baru itu ialah Hamid, ia adalah orang Indonesia yang telah lama menetap di Mekah karena ingin melarikan diri dari orang-orang terkdekatnya.
            Kebersamaan mereka di sana, telah menimbulkan keakraban diantara keduanya. Sampai pada akhirnya, Hamid bercerita tentang asal-usul hidupnya dan alasan mengapa ia sampai pindah ke Mekah. Hamid adalah anak yatim yang sejak kecil telah disekolahkan oleh keluarga Haji Ja’far. Sejak kecil ia memantu Ibunya berjualan kue sambil bersekolah. Ia satu sekolah dengan anak tunggal Haji Ja’far yang bernama Zainab.
            Mereka berteman akrab dan selalu sekolah bersama-sama hingga SMA. Setelah lulus SMA, Zainab telah masuk dalam masa-masa pingitan, sedangkan Hamid tetap disekolahkan ke perguruan tinggi oleh Haji Ja’far. Setelah keduanya dewasa, mereka saling jatuh cinta. Setelah itu nasib buruk menimpa Hamid bertubi-tubi, yang pertama adalah meninggalnya Haji Ja’far, kemudian disusul dengan kematian Ibunya sendiri. Saat itu ia telah merasa hidup sebatang kara, sebab ia telah menjadi yatim piatu. Selain itu, sebelum meninggal, Ibu Hamid yang mengetahui tetang perasaan si anak terhadap Zainab, melarangnya untuk meneruskan maksud hati tersebut. Untuk itu Hamid mencoba untuk bersabar.
            Belum lagi tenang perasaan Hamid, ia mendapat undangan dari Mak Asiah untuk datang ke rumahnya. Hamid pun memenuhi undangan itu. Ketika itu, Zainab yang membukakan pintu seperti memberi sinyal-sinyal harapan bagi Hamid, akan tetapi cepat-cepat ditepisnya, sebab ia teringat akan pesan Ibunya. Tenyata, makdud dari undangan Mak Asiah tersebut adalah meminta bantuan Hamid untuk membujuk Zainab agar mau menikah dengan saudara sepupunya. Saat itu Hamid benar-benar merasa terpukul, tetapi tetap juga dilakukannya permintaan dari Mak Asiah tersebut. Mendengar hal itu pun Zainab sangat terkejut dan menangis tersedu-sedu.
            Setelah kejadian itu, Hamid pergi merantau ketempat yang jauh, yakni ke Mekah. Ia hidup menyendiri dan lebih menekuni bidang ilmu keagamaan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan tokoh Saya. Setelah itu datang lagi saudara mereka dari Indonesia yang menumpang pula di rumah syekh tersebut dengan tujuan yang sama, yaitu ingin mleksanakan ibadah haji.
            Teman yang baru datang itu merupakan teman Hamid sewaktu di desa, namanya Saleh. Kebetulan ia telah menikah denan Rosna, teman karib Zainab. Dari teman baru itulah Hamid banyak mendengar kabar tentang Zainab. Sekarang ia baru mengetahui bahwa sebenarnya Zainab sangat mencintai Hamid. Ia tidak jadi menikah dengan saudara sepupunya itu. Zainab terus menerus sakit-sakitan dan sering merenung sejak ditinggalkan Hamid pergi.
            Mendengar hal itu Hamid mengalami perasan yang berupa-rupa dan timbul keinginannya untuk pulang ke tanah air untuk menjenguk Zainab. Akan tetapi Hamid pun jatuh sakit. Lalu datanglah surat kawat dari Rosna yang mengabarkan bahwa Zainab telah meninggal. Saleh dan tokoh Saya sengaja tidak memberitahukannya kepada Hamid karena takut memperburuk keadaannya. Tapi akhirnya Hamid tahu juga kan hal itu.
Kondisi Hamid semakin buruk dan ia melaksanakan Haji dibantu dengan orang orang, sebab ia telah tak mampu lagi berjalan, ia ditandu. Pada saat Hamid menyentuh kiswah ia berdoa agar bisa menyusul orang-orang yang disayanginya. Setelah mengucapkan doa pun melayanglah nyawanya. Lalu Hamid dimakamkan di Mekah. Setelah itu Saleh dan tokoh Saya pulang ke tanah air. Begitulah gambaran umum novel ini.

4. Keunggulan dan Kelemahan Novel
            Seperti novel-novel lainnya, novel ini pun memiliki kelebihan dan kelemahan. Novel ini bukan hanya berceita tentang kisah dari Hamid dan Zainab saja, tetapi juga diperkaya dengan peribahasa, surat-surat, telegram, dan pesan-pesan moral yang sangat berharga. Akan tetapi bahasa yang digunakan masih menggunakan bahasa melayu lama. Mungkin agak sulit dimengerti bagi generasi sekarang, untuk membaca novel ini memang membutuhkan konsentrasi agar benar-benar dapat memahami  isi ceritanya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar