SANG PIATU
Pada
zaman dahulu kala, ada seorang anak laki-laki yang sangat malang hidupnya. Ayah
ibunya telah meninggal ketika ia masih kecil. Untunglah masih ada neneknya yang
sudah sangat tua yang memeliharanya. Anak malang ini bernama Sang Piatu. Sang
Piatu tinggal bersama neneknya di sebuah gubuk tua yang sangat sederhana. Gubuk
mereka terletak di tengah hutan, tidak jauh dari sebuah sungai.
Di
seberang sungai itu terdapat sebuah desa yang dipimpin oleh seorang raja. Kata nenek
Sang Piatu, desa itu bernama Dusun Raja. Penduduknya sudah agak ramai. Desa itu
aman dan makmur.
Setiap
hari, pagi dan sore, Sang Piatu dan neneknya selalu pergi mandi ke sungai. Tempat
pemandian mereka berseberangan dengan Dusun Raja. Setiap pergi mandi, Sang
piatu selalu memperhatikan suasana desa. Terlihat olehnya, banyak anak di sana.
Ingin rasanya ia bermain bersama mereka. Setiap sore nampak anak-anak sebayanya
pergi berkumpul di rumah raja.
Hari
demi hari dijalanai Sang Piatu bersama neneknya. Sang Piatu makin lama makin
besar. Ia sudah mulai berani menjelajahi hutan di sekitarnya dan pergi mandi
sendiri di sungai.
Pada
suatu malam menjelang tidur, Sang Piatu berkata kepada neneknya, “Nek, setiap
sore saya melihat banyak anak berkumpul di rumah raja di seberang itu. Bolehkah
saya mencoba pergi ke sana untuk bermain-main bersama mereka, Nek?”
Neneknya
menjawab, “Mereka berkumpul di rumah raja setiap sore itu untuk belajar
mengaji, Cucuku. Engkau tidak boleh pergi ke sana. Mereka akan membecimu karena
engkau adalah orang yang miskin dan hina. Pakaianmu sangat buruk, sedangkan
pakaian mereka bagus-bagus. Jika engkau mendekati mereka, tentu engkau akan
diusir.”
Mendengar
jawaban neneknya itu, Sang Piatu terdiam. Akan tetapi, keinginan di dalam
hatinya tetap membara. Sangat ingin rasanya ia pergi ke sana untuk belajar
mengaji. Dua tiga hari setelah itu, ia kembali menyampaikan maksudnya itu epada
neneknya. Melihat keinginan cucunya yang amat sangat itu, neneknya terpaksa
mengizinkan.
Ia
berkata kepada Sang Piatu, “Jika memang demikian keinginanmu Sang Piatu, besok
sore cobalah engkau pergi ke sana. Tetapi, engkau harus tahu diri dan bersikap
sopan di sana. Engkau harus minta izin dan menyampaikan keinginanmu itu kepada
raja.”
“Jika
demikan, baiklah, Nek,” kata Sang Piatu, “Besok sore saya akan mencoba pergi ke
sana.”
Keesokan
harinya, dengan hati yang sangat girang, menyeberanglah Sang Piatu ke Dusun
Raja. Setiba di sana anak-anak pengajian sudah banyak yang datang. Sejenak kemudian,
pengajian pun dimulai. Sang Piatu tidak berani menyampaikan maksudnya kepada
raja. Sore itu ia hanya mencoba mendekati tempat pengajian dan mengintip dari
luar ruangan. Sang Piatu sudah keluar lebih dulu dari halaman dan langsung
menyeberang pulang. Bergitulah dilakukannya beberapa sore. Akhirnya, kelakuan Sang
Piatu diketahui oleh raja.
Pada
suatu sore ketika Sang Piatu datang, raja melihat dan memanggilnya. Dengan perasaan
takut dan cemas ia mendatangi panggilan raja itu. Setelah raja menanyainya, ia
sampaikan maksud kedatangannya setiap sore ke situ.
Selanjutnya
raja mengatakan kepadanya, “Engkau saya izinkan ikut mengaji di sini. Engkau akan
mendapat pelajaran khusus di tempat tersendiri. Engkau tidak boleh duduk
bersama teman-teman yang lain.”
Sang
Piatu menjawab, “Baiklah Tuan Raja. Saya haturkan terima kasih atas kemurahan
hati Tuan. Saya akan mengikuti semua perintah Tuan Raja.”
Tidak
lama setelah itu, pengajian dimulai seperti biasanya. Anak-anak telah duduk
dengan teratur menunggu giliran masing-masing. Adapaun Sang Piatu disuruh raja
duduk di balik pintu masuk. Ia tidak boleh bergabung di dalam barisan anak-anak
itu.
Satu
per satu anak-anak itu diajari raja mengaji. Sang Piatu hanya mendengarkan dan
memperhatikan mereka dari balik pintu. Setelah selesai, semua anak itu disuruh
pulang oleh raja.
Sang
Piatu yang duduk di balik pintu sejak awal pengajian mulai bingung, “Apakah
saya harus pulang sekarang atau belum,” katanya di dalam hati.
Tidak
lama kemudian, raja memanggilnya dan bertanya, “Hai Sang Piatu, apakah engkau
sungguh-sungguh mau belajar mengaji?”
“Ya,
Tuan Raja,” jawab Sang Piatu, “Saya sangat ingin belajar mengaji seperti
kawan-kawan lain.”
Sang
Piatu pun berdiri dan minta izin untuk pulang. Telah beberapa sore ia hadir di
tempat pengajian, tetapi hanya disuruh duduk di balik pintu dan belum pernah
diajari mengaji walau satu kali saja. Hanya hinaan dan cercaan menyayat hati
yang sudah diperoleh dari anak-anak pengajian itu.
Pada
suatu malam, Sang Piatu menceritakan semua pengalamannya selama mengikuti
pengajian kepada neneknya. Neneknya sangat sedih mendengar cerita cucunya itu
dan berkata, “Sang Piatu, sebaiknya engkau berhenti saja pergi ke tempat
pengajian. Tunggu saja sampai engkau menjadi lebih besar.”
“Tidak,
Nek,” kata Sang Piatu, “Izinkan saya menghadirinya setiap hari. Mudah-mudahan
tidak lama lagi saya akan belajar.”
Pengajian
itu telah berjalan beberapa bulan sebelum Sang Piatu ikut hadir di situ. Sudah banyak
anak dapat mengaji dengan baik dan lancar. Raja ingin mengadakan acara syukuran
atas berhasilnya pengajian itu.
Sebelum
anak-anak pulang pada sore itu, raja mengumumkan bahwa besok sore akan diadakan
upacara syukuran. Semua anak diperintahkan agar membawa makanan. Setelah mendengarkan
pengumuman, anak-anak disuruh pulang. Sang Piatu segera ikut pulang.
Setelah
tiba di rumah, Sang Piatu berkata kepada neneknya, “Nek, besok kami disuruh
raja membawa makanan karena akan diadakan upacara syukuran di pengajian kami.”
Neneknya
terdiam sejenak. Beliau kebingungan karena di gubuknya tidak ada sedikitpun
makanan yang dapat di bawa cucunya besok. Kemudian, beliau berkata, “Baiklah
Sang Piatu, besok pagi kita pergi mencari bahnnya ke dalam hutan di sekitar
kita ini. Mudah-mudahan ada umbi-umbian atau buah-buahan yang dapat kita ambil.”
Pagi-pagi
benar keesokan harinya, berangkatlah Sang Piatu bersama neneknya menjelajahi
hutan di sekitar tempat kediaman mereka. Tidak lama kemudian, mereka menemukan
sebatang pohon nangka yang sedang berbuah. Mereka memetik sebuah nagka yang
sudah masak dan langsung dibawa pulang ke gubuk mereka. Setelah buah nangka itu
di belah, ternyata isinya hanya seuluh biji.
“Bungkus
saja semua buah nangka itu, Piatu,” kata Nenek, “karena jika kita kurangi untuk
dimakan, nanti terlalu sedikit makanan yang kau bawa ke pengajian.”
“Baiklah,
Nek,” jawab Sang Piatu. Setelah dihitung dengan teliti, dibungkusnya kesepuluh
biji buah nangka itu dengan sebaik-baiknya.
Sore
itu, Sang Piatu lebih cepat tiba di tempat pengajian dari pada anak-anak lain. Setelah
sampai di sana, Sang Piatu langsung menyerahkan bungkusan makana yang dibawanya
kepada raja.
“Apa
makanan yang kau bawa ini, Sang Piatu?” tanya raja.
“Buah
nangka sepuluh biji, Tuan Raja,” jawab Sang Piatu.
Raja
pun membuka bungkusan itu. Setelah dihitung, tenyata jumlah buah nangka yang
ada di dalamnya hanya sembilan biji, bukanlah sepuluh biji sebagaimana
dikatakan Sang Piatu. Sang Piat merasa sangat heran bercampur cemas. Ia takut
jika raja marah dan menganggapnya tidak jujur. Dengan suara gemetar, ia mencoba
menyampaikan kesungguhan dan kehalusan hatinya dalam menyiapkan bungkusannya
itu. Ia jelaskan pula kepada raja bahwa kejadian itu betul-betul di luar
dugaannya.
Sebenarnya,
raja tidak terlalu memusingkan kekurangan isi bungkusan Sang Piatu. Ia mengatakan
kepada Sang Piatu bahwa ia tidak marah kepadanya dan menganggap kejadian itu
kejadian biasa saja. Dikatakannya pula bahwa mulai sore ini Sang Piatu akan
diajari mengaji. Mendengar ucapan raja itu, barulah Sang Piatu merasa agak
lega.
Setelah
selesai upacara syukuran, pelajaran mengaji seperti biasa pun dimulai. Sang Piatu
mendapat giliran belajar paling akhir, sementara anak-anak lain sudah disuruh
pulang. Raja berkata kepada Sang Piatu, “Mulai sore ini engkau akan saya ajari
mengaji. Mendekatlah ke sini Sang Piatu.”
Sang
Piatu mendekati raja.
“Sekarang
kita mulai, dengarkan baik-baik dan ikuti apa yang saya sebutkan,” kata raja.
Lalu,
raja mulai menyebutkan, “Buah nangka sepuluh mulan (bibit tanaman berbentuk bundar), hilang sebiji tinggal
sembilan. Nah, cobalah kau ulangi dan hafalkan baik-baik,” kata raja, “Sore ini
cukup itu dulu kajianmu. Sekarang, engkau boleh pulang.”
Sambil
berjalan pulang, Sang Piatu terus mengulangi kajian yang telah diajarkan raja. Setelah
sampai di rumah, Sang Piatu ingin beristirahat. Ia duduk di atas sebuah batu
yang agak besar di bawah sebatang pohon yang rindang. Sementara duduk
beristirahat, Sang Piatu teringat akan kajian yang diajarkan raja. Ia tidak
habis pikir, apa sesungguhnya maksud raja mengajarkan kajian itu. “Mungkin ada
kesaktiannya kajian itu. Akan saya coba pada batu yang saya duduki ini,” kata
Sang Piatu dalam hati.
Sebenarnya,
raja hanya mempermainkannya saja dengan ucapan itu. Dengan penuh pengharapan
Sang Piatu mulai berucap:
Buah
nangka sepuluh mulan,
Hilang satu tinggal sembilan.
Aku memohon belas kasih-Mu, oh Tuhan,
Jadilah emas batu ini kuharapkan
Hilang satu tinggal sembilan.
Aku memohon belas kasih-Mu, oh Tuhan,
Jadilah emas batu ini kuharapkan
Berkat
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam sekejap berubahlah batu yang ia duduki
itu menadi sebongkah emas murni. Betapa girangnya Sang Piatu saat itu. Ia bermaksud
menjual emas itu ke kota.
Ia
pun mengadakan perjalanan ke kota. Setelah tiba di kota yang dituju, ia menjual
sebagian emasnya. Sebagian lagi dibawanya pulang untuk diperlihatkan kepada
neneknya. Setelah membeli segala macam kebutuhan dan oleh-oleh untuk neneknya,
Sang Piatu segera pulang.
Menjelang
sore setelah tiga hari tiga malam dalam perjalanan pulang, diiringi beban yang
sarat dengan muatan, sampailah Sang Piatu ke gubuk neneknya. Melihat kedatangan
cucunya, si nenek pun terheran-heran. Dengan air mata kegirangan, dipeluknya
cucu kesayangannya itu erat-erat sambil berkata, “Rasa bermimpi Nenek dapat
bertemu dengan engkau seperti sekarang. Nenek tidak mengira sama sekali bahwa
engkau akan pulang secepat ini. Siapakah gerangan yang memberimu barang
sebanyak ini?”
Malam
itu, Sang Piatu segera menceritakan segala pengalamannya dari awal sampai akhir
kepada neneknya. Tidak berapa lama setelah kepulangannya, Sang Piatu mengajak
neneknya pindah ke kota. Ia membeli sebuah rumah mewah di tepi kota. Sang Piatu
dan neneknya hidup dengan tenang dan tenteram, tanpa kurang satu apa pun hingga
akhir hayat mereka.
Kesimpulan:
Cerita
Sang Piatu adalah sebuah cerita yang berkembang di daerah Bengkulu Selatan
sejak zaman dahulu. Cerita ini bersifat fiksi, yaitu sebagai hiburan untuk
anak-anak menjelang tidur di malam hari.
Secara
ringkas, pesan cerita ini adalah nasib seseorang berada di tangan Tuhan. Dengan
kemauan keras disertai doa yang tulus jika Tuhan menghendaki, nasib manusia
dapat berubah dalam sekejap.
Sumber:
ZA, H. Syamsuddin, dkk. 2000. Cerita Rakyat Dari Bengkulu. Jakarta: PT Grasindo
Mbak Asri, ini cerita Sang Piatu versi daerah mana?
BalasHapus