Kamis, 07 Januari 2016

Cerpen "Jika Dua", karya Asri Dyarti




JIKA DUA
Karya: Asri Dyarti

“Aku dijodohkan”, kata laki-laki itu datar. Matanya tertuju pada aspal parkiran kampus. Pikirannya kemana-mana.
“Apa?”, perempuan di hadapannya terkejut.
“Ya, aku dijodohkan.” Tegasnya sekali lagi.
“Pacarmu bagaimana?” alis perempuan itu bertemu.
“Itu yang sedang aku fikirkan sekarang. Menurutmu, aku harus bagaimana?” dia menoleh.
“Apa kau suka dengan gadis itu?” selidiknya.
“Ya. Aku menyukai keduanya. Tapi, gadis itu masih harus menyelesaikan kuliahnya beberapa semester lagi.” Asap rokoknya disentuh angin dan berlarian mengisi ruang-ruang udara.
“Siapa yang lebih cantik di antara mereka?” katanya sambil mondar-mandir.
“Mereka sama-sama cantik.” Sekali lagi lelaki itu mengepulkan asap rokoknya.
“Baiklah, jika keduanya sama-sama cantik maka pilihlah yang paling soleha tapi jika keduanya sama-sama soleha maka pilihlah yang paling cantik.” Kata perempuan itu mantap.
“Maksudmu?”
“Ya seperti itulah.”
Lelaki itu mematikan rokoknya yang tinggal 2 cm lagi. Meneguk air mineral dari botolnya. Matanya memandang ke depan. Tatapannya jauh. Ia berkata lagi, “Lalu bagaimana jika keduanya sama-sama cantik dan sama-sama soleha?”
“Sebaiknya kamu istikharah” kata perempuan itu.
“Baiklah, tapi bagaimana dengan FB-ku?”
“FB? Hahahah”, perempuan itu terpingkal-pingkal mendengarnya.
“Ada yang lucu?” lelaki itu melongo.
“Lucu sekali, kawan...kenapa kau hubung-hubungkan dengan FB? Hahaha” perempuan itu tertawa sampai memegangi perutnya.
“FB-ku isinya semua tentang pacarrku. Foto bersama, status-status tentangnya, dan hampir setiap kali membuat status, aku tandai dia. Bagaimana jika bukan dia jawaban dari istikharahku? Apa aku harus menghapus semua itu satu per satu?” katanya panjang lebar.
“Hahaha...itu salahmu sendiri. Belum resmi menikah tapi gayamu seperti dia telah menjadi istrimu saja. Buat FB baru saja.” Kata perempuan itu masih dengan tawanya.
“Ah! Kau tak mengerti kawan. Aku yakin, kau bisa berkata seperti itu karena kau belum pernah jatuh cinta. Coba lihat dirimu, sampai saat ini kau belum punya pacar kan?”
“Aku pernah jatuh cinta, tapi aku tidak mau pacaran.”
“Benarkah? Lalu bagaimana kau bisa menikah kalu kau tidak pacaran?”
“Tentu saja bisa.” Kata perempuan itu.
***
Kegiatan mahasiswa selesai sore itu. Undangan sebaagai senior dari himpunan terpenuhi sudah. Meski di awal kedatangan langsung ditodong dengan curhatan temannya yang galau. Galau yang ujung-ujungnya nyangkut ke FB. Ya, gara-gara sering posting foto bersama pacar. Bukan hanya dia saja tentunya yang sering posting foto bersama pacar, tapi banyak orang di dunia. Bahkan, para remaja yang masih berseragam pun demikian. Mengapa demikian? Ada yang tahu?
Gadis itu pulang menuju rumahnya dengan mengendarai motor bututnya. Motor itu warisan dari orang tuanya. Motor itulah yang setia menemaninya kemanapun hingga ia menjadi sarjana. Jarak dari kampus ke rumahnya lumayan jauh. Kalau berjalan dengan kecepatan 40 km/jam bisa memakan waktu satu jam denga lampu merah yang menyala terus. Terkadang ia bisa menyingkatnya menjadi 30 menit saja, ya jika sedang terburu-buru. Apa boleh buat?
Kali ini dia memilih berjalan dengan kecepatan 20 km/jam. Lebih lambat dari biasanya. Ia tidak ingin pulang cepat hari ini. Seperti lelaki yang curhat tadi, ia pun memikirkan nasibnya. Akan menikah dengan siapa dia nanti? Sambil melihat-lihat pemandangan di sekitar jalan, ia terus berfikir. Berdialog dengan hatinya sepanjang jalan. Sesekali ia melihat sepasang muda-mudi yang berboncengan mesra, balita yang menangis di lampu merah. Mobil-mobil yang berdebu, bunyi klakson, penjual koran yang masih kecil-kecil. Siswa-siswi yang pulang dari bimbel. Banyak sekali pemandangan di jalan yang ia temui. Terlalu peduli atau kurang kerjaan? Entahlah, ia hanya senang merasakan terpaan udara dari atas motornya, lebih lama lagi.
Tubuhnya rebah di atas kasur yang empuk. Kamarnya dipenuhi warna hijau. Ia memandang langit-langit. Fikirannya berlari ke masa beberapa jam yang lalu. Ketika ia mengatakan, “jika kedua sama-sama cantik pilihlah yang paling soleha. Jika keduanya sama-sama soleha, pilihlah yang paling cantik”. Ia jadi berfikir, apa setiap laki-laki yang akan menikah di hadapkan dengan kasus seperti ini? Lalu bagaimana jika perempuan yang mengalaminya? Ia tiba-tiba menepis fikiran itu dan beranjak duduk di hadapan cermin. Melepas jilbabnya pelan-pelan. Satu per satu jarum yang melekat di kain hijabnya itu ia lepaskan. Ada berapa jarum? Hitung saja, dua di bagian pipi, satu di bawah dagu, satu di atas kepala dan satu bros cantik. Ia mematut dirinya di hadapan cermin. Lama. Bertanya dengan cermin, “Apakah aku cantik? Apakah aku soleha? Apakah aku adalah jawaban dari istikharah seseorang? Siapa dia? Siapa jodohku?”
***


2 komentar:

  1. uwaaaaaa jadi mkir spa ya jodohku dan yg menjadikan aku jwaban dari istikhrahn someone...hhmmm

    BalasHapus
  2. Semoga laki-laki yang shalih...aamiin...

    BalasHapus