JIKA DUA
Karya: Asri Dyarti
Karya: Asri Dyarti
“Aku
dijodohkan”, kata laki-laki itu datar. Matanya tertuju pada aspal parkiran
kampus. Pikirannya kemana-mana.
“Apa?”,
perempuan di hadapannya terkejut.
“Ya,
aku dijodohkan.” Tegasnya sekali lagi.
“Pacarmu
bagaimana?” alis perempuan itu bertemu.
“Itu
yang sedang aku fikirkan sekarang. Menurutmu, aku harus bagaimana?” dia
menoleh.
“Apa
kau suka dengan gadis itu?” selidiknya.
“Ya.
Aku menyukai keduanya. Tapi, gadis itu masih harus menyelesaikan kuliahnya
beberapa semester lagi.” Asap rokoknya disentuh angin dan berlarian mengisi
ruang-ruang udara.
“Siapa
yang lebih cantik di antara mereka?” katanya sambil mondar-mandir.
“Mereka
sama-sama cantik.” Sekali lagi lelaki itu mengepulkan asap rokoknya.
“Baiklah,
jika keduanya sama-sama cantik maka pilihlah yang paling soleha tapi jika
keduanya sama-sama soleha maka pilihlah yang paling cantik.” Kata perempuan itu
mantap.
“Maksudmu?”
“Ya
seperti itulah.”
Lelaki
itu mematikan rokoknya yang tinggal 2 cm lagi. Meneguk air mineral dari botolnya.
Matanya memandang ke depan. Tatapannya jauh. Ia berkata lagi, “Lalu bagaimana
jika keduanya sama-sama cantik dan sama-sama soleha?”
“Sebaiknya
kamu istikharah” kata perempuan itu.
“Baiklah,
tapi bagaimana dengan FB-ku?”
“FB?
Hahahah”, perempuan itu terpingkal-pingkal mendengarnya.
“Ada
yang lucu?” lelaki itu melongo.
“Lucu
sekali, kawan...kenapa kau hubung-hubungkan dengan FB? Hahaha” perempuan itu
tertawa sampai memegangi perutnya.
“FB-ku
isinya semua tentang pacarrku. Foto bersama, status-status tentangnya, dan
hampir setiap kali membuat status, aku tandai dia. Bagaimana jika bukan dia
jawaban dari istikharahku? Apa aku harus menghapus semua itu satu per satu?”
katanya panjang lebar.
“Hahaha...itu
salahmu sendiri. Belum resmi menikah tapi gayamu seperti dia telah menjadi
istrimu saja. Buat FB baru saja.” Kata perempuan itu masih dengan tawanya.
“Ah!
Kau tak mengerti kawan. Aku yakin, kau bisa berkata seperti itu karena kau
belum pernah jatuh cinta. Coba lihat dirimu, sampai saat ini kau belum punya
pacar kan?”
“Aku
pernah jatuh cinta, tapi aku tidak mau pacaran.”
“Benarkah?
Lalu bagaimana kau bisa menikah kalu kau tidak pacaran?”
“Tentu
saja bisa.” Kata perempuan itu.
***
Kegiatan
mahasiswa selesai sore itu. Undangan sebaagai senior dari himpunan terpenuhi
sudah. Meski di awal kedatangan langsung ditodong dengan curhatan temannya yang
galau. Galau yang ujung-ujungnya nyangkut ke FB. Ya, gara-gara sering posting
foto bersama pacar. Bukan hanya dia saja tentunya yang sering posting foto
bersama pacar, tapi banyak orang di dunia. Bahkan, para remaja yang masih
berseragam pun demikian. Mengapa demikian? Ada yang tahu?
Gadis
itu pulang menuju rumahnya dengan mengendarai motor bututnya. Motor itu warisan
dari orang tuanya. Motor itulah yang setia menemaninya kemanapun hingga ia
menjadi sarjana. Jarak dari kampus ke rumahnya lumayan jauh. Kalau berjalan
dengan kecepatan 40 km/jam bisa memakan waktu satu jam denga lampu merah yang menyala
terus. Terkadang ia bisa menyingkatnya menjadi 30 menit saja, ya jika sedang
terburu-buru. Apa boleh buat?
Kali
ini dia memilih berjalan dengan kecepatan 20 km/jam. Lebih lambat dari
biasanya. Ia tidak ingin pulang cepat hari ini. Seperti lelaki yang curhat
tadi, ia pun memikirkan nasibnya. Akan menikah dengan siapa dia nanti? Sambil
melihat-lihat pemandangan di sekitar jalan, ia terus berfikir. Berdialog dengan
hatinya sepanjang jalan. Sesekali ia melihat sepasang muda-mudi yang
berboncengan mesra, balita yang menangis di lampu merah. Mobil-mobil yang
berdebu, bunyi klakson, penjual koran yang masih kecil-kecil. Siswa-siswi yang
pulang dari bimbel. Banyak sekali pemandangan di jalan yang ia temui. Terlalu
peduli atau kurang kerjaan? Entahlah, ia hanya senang merasakan terpaan udara
dari atas motornya, lebih lama lagi.
Tubuhnya
rebah di atas kasur yang empuk. Kamarnya dipenuhi warna hijau. Ia memandang
langit-langit. Fikirannya berlari ke masa beberapa jam yang lalu. Ketika ia
mengatakan, “jika kedua sama-sama cantik pilihlah yang paling soleha. Jika
keduanya sama-sama soleha, pilihlah yang paling cantik”. Ia jadi berfikir, apa
setiap laki-laki yang akan menikah di hadapkan dengan kasus seperti ini? Lalu
bagaimana jika perempuan yang mengalaminya? Ia tiba-tiba menepis fikiran itu
dan beranjak duduk di hadapan cermin. Melepas jilbabnya pelan-pelan. Satu per
satu jarum yang melekat di kain hijabnya itu ia lepaskan. Ada berapa jarum?
Hitung saja, dua di bagian pipi, satu di bawah dagu, satu di atas kepala dan
satu bros cantik. Ia mematut dirinya di hadapan cermin. Lama. Bertanya dengan
cermin, “Apakah aku cantik? Apakah aku soleha? Apakah aku adalah jawaban dari
istikharah seseorang? Siapa dia? Siapa jodohku?”
***
uwaaaaaa jadi mkir spa ya jodohku dan yg menjadikan aku jwaban dari istikhrahn someone...hhmmm
BalasHapusSemoga laki-laki yang shalih...aamiin...
BalasHapus