Jumat, 20 April 2018

Biografi Penulis Blog Jejak Penja Cantik

                                                               BIOGRAFI PENULIS



Asri Dyarti, M.Pd.  adalah seorang gadis Bengkulu yang dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1991. Beliau menempuh pendidikan di Bengkulu, tepatnya di TK IT Al-Hasanah Bengkulu, SDN 74 Bengkulu, SMPN 5 Bengkulu, SMAN 3 Bengkulu dan S1 di Universitas Bengkulu dengan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis menlanjutkan studi S2-nya  di Universitas yang sama, yaitu Universitas  Bengkulu dengan Program Pascasarjana  Pendidikan Bahasa Indonesia. Beliau berhasil menamatkan studinya lebih cepat dari waktu yang ditentukan dan lulus dengan IPK lebih dari 3,50. Pada tahun 2017 beliau terpilih sebagai Runner Up Perempuan Inspiratif Kategori Seni, Sosial dan Budaya.
Asri Dyarti pernah mengajar di SMAN 3 Kota Bengkulu pada tahun 2014 dan Asri Dyarti juga pernah mengajar di Yayasan Surau  Alkarim Islamic Boarding School kota Bengkulu (SMP dan SMA AIBOS) sebagai guru Bahasa Indonesia dan guru SBB selama 1 tahun (2015/2016). Asri Dyarti sudah senang menulis sejak kecil. Beliau memulai tulisannya dari buku harian. Asri Dyarti adalah Putri Terbaik Angkatan 2009 pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Semasa kuliah, Asri Dyarti pernah menjuarai Lomba Menulis Tingkat Provinsi dalam Rangka HUT Rakyat Bengkulu, yakni Juara I Lomba Menulis Surat untuk  Dahlan tepatnya pada tahun 2013. Pada tahun itu Asri Dyarti juga mendapat juara II Lomba Master of Ceremony (MC) pada kegiatan FKIP FAIR 2013. Pada tahun sebelumnya, Asri Dyarti juga mendapat juara II Lomba Baca Berita pada kegiatan Pekan Seni Mahasiswa FKIP UNIB 2012.
Asri Dyarti juga pernah meraih Juara Harapan I dalam Lomba Pekan Karya Mahasiswa – Gagasan Tertulis (PKM-GT) dalam bidang media pembelajaran Bahasa Indonesia dengan judul “Racun Nyamuk sebagai Media Pembelajaran Bahasa Indonesia” Tingkat Universitas Bengkulu. Pada tahun 2010 Asri Dyarti terpilih menjadi Pemakalah dari tingkat mahasiswa dalam Seminar Peringatan Hari Chairil Anwar. Pada masa SMA, Asri Dyarti aktif di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yakni di Sekbid Dua (Sekbid Bela Negara). Semasa kuliah, Asri Dyarti aktif di kegiatan kemahasiswaan seperti Hima Bahtra (Bendahara Umum Hima Bahtra periode 2010/2011) dan BEM FKIP UNIB (Kepala Dinas Ekonomi, Keuangan, dan Investasi periode 2012).
Beliau adalah salah seorang Finalis Putri Hijab Bengkulu tahun 2015. Selain itu, Asri Dyarti juga aktif menjadi MC di berbagai kegiatan kampus. Buku pertamanya yang berjudul “Ada Cinta di Matanya” terbit sebagai sebuah antologi cerpen bersama ibu Sarliminarti dan Guru-Guru SMP Provinsi Bengkulu. Buku keduanya berjudul “Ketupek Bengkulu” terbit sebagai antologi puisi untuk Kota Bengkulu bersama bapak Herman Suryadi, S.Pd., M.Pd. (Kakak Tua). Buku ketiganya berjudul “Gerhana Matahari di Langit Fort Marlborough” terbit sebagai buku antologi puisi bersama penulis Bengkulu. Buku keempatnya, yaitu Buku antologi cerpen bersama guru SMA se-Provinsi Bengkulu dengan judul “Bidadari Bermata Jeli”. Buku Kelimanya berjudul “Ku Ikhlaskan Janjimu” sebagai antologi cerpen bersama 27 penulis nusantara.
Buku ke enam-nya berjudul “Muda Mudi Ibu Pertiwi” yang ditulis bersama 30 Penulis Nusantara. Buku ke tujuhnya berjudul “Bianglala di Langit Utara” yang ditulis bersama Bapak Herman Suryadi, dkk. Buku ke delapannya berjudul Seputih Kembang Kopi Semerah Stroberi” ditulis bersama penulis Bengkulu sebagai antologi puisi bertema Kabupaten Rejang Lebong. Buku ke sembilannya berjudul “Swarang Patang Stumang” juga antologi puisi bersama penulis Bengklu dengan tema Kabupaten Lebong. Buku ke sepuluhnya berjudul “Gurita dan Pantai Kaur” ditulis bersama penulis Bengkulu sebagai antologi puisi bertema Kabupaten Kaur.
Setelah sepuluh kali menerbitkan buku antologi bersama, akhirnya pada tahun 2016 Asri Dyarti berhasil menyelesaikan buku tunggalnya yang berupa antologi puisi dengan judul “Cahaya Tasbih Semesta”. Buku tersebut merupakan buku tunggalnya yang pertama. Setelah menerbitkan 10 buku antologi bersama penulis di Provinsi Bengkulu dan beberapa penulis Nusantara, serta sebuah buku tunggal yang berupa Antologi Puisi, akhirnya nama Asri Dyarti berhasil masuk ke dalam Ensiklopedi Penulis Indonesia Jilid 8 yang diterbitkan oleh Fam Indonesia. Setelah itu Asri Dyarti mendapat undangan untuk menulis bersama FLP Bengkulu untuk menulis Antologi Puisi dan Cerpen yang berjudul Salam Ombak. Buku ke-13-nya tersebut diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Sahabat Alam Raflesia. Karya Asri Dyarti yang lainnya bisa dilihat di blog Jejak Penja Cantik. Teman-teman bisa menghubungi Asri Dyarti di akun Facebook-nya yang bernama Asri Dyarti.


Kamis, 14 Desember 2017

Cerpen_Catatan Anak Kecil_oleh Asri Dyarti



CATATAN ANAK KECIL
Oleh: Asri Dyarti

Kenapa orang dewasa itu main cinta-cintaan? Kenapa sih? Padahal waktu kecil mainannya lompat kodok, main congklak, main kejar-kejaran, main bola kasti, main mobil-mobilan. Kenapa orang dewasa itu kalau nangis masuk kamar? Padahal dulu waktu kecil nangisnya di tengah lapangan, di ruang tamu, di depan adik sama kakak, di depan teman-teman, di depan Ibu Guru. Kenapa sih orang dewasa begitu? Terus, habis itu orang dewasa main cemburu-cemburuan. Main marah-marahan, padahal selalu bilang sama anak kecil kalau nggak boleh marah-marah, nanti cepat tua. Kenapa orang dewasa itu suka begitu ya?
Kenapa sih orang dewasa itu kalau ketawa nunduk-nunduk? Padahal waktu kecil kalau ketawa mulutnya kebuka lebar. Kenapa orang dewasa itu suka telponan malam-malam, terus ponselnya dikunci. Terus kalau ada SMS masuk nggak boleh dibaca siapa-siapa. Kenapa sih orang dewasa itu suka dandan? Padahal waktu kecil, gosok gigi aja males, mesti diteriakin sama mamanya dulu baru deh ambil sikat gigi. Kenapa orang dewasa itu begitu ya?
Orang dewasa itu kadang-kadang suka nyalahin anak kecil. Ih, capek deh jadi anak kecil disalahin terus sama orang dewasa. Tapi, orang dewasa itu baik deh, suka jajanin anak kecil. Itu apa supaya dibilang baik ya? Hmm, tapi anak kecil ya sukanya emang diajak jajan sama jalan-jalan. Ih, orang dewasa begitu ya. Berarti kalau jadi orang dewasa itu harus punya banyak uang dong. Biar bisa beli apa aja. Bisa beli ini itu yang banyak. Terus dikasihin sama anak kecil, sama mama papanya juga. Habis itu beli kado ulang tahun dan traktir teman-teman. Pergi ke pesta dan pakai baju bagus. Baunya wangi karena orang dewasa suka pakai parfum.
Jadi orang dewasa itu kayanya capek deh. Harus pergi kuliah, harus pergi ke kantor, harus bisa pakai kendaraan, harus bisa masak, harus bisa ngurusin rumah dan pakaian. Kalau jadi anak kecil cuma pergi ke sekolah, jajan, main sama teman, jalan-jalan dan nonton film kartun. Jadi orang dewasa itu, kayanya repot deh, ada pengajian, ada arisan, jenguk orang sakit, gotong royong, banyak kerjanya deh. Kalau jadi anak kecil cuma diajak ikut dan main sama teman-teman.
***

Jadi orang dewasa itu tidak bisa main sama teman-teman seperti kecil dulu. Harus menurutp aurat, harus bertingkah yang sopan, harus bertutur yang santun. Cara bicara dan tertawanya harus berubah lebih baik. Jadi orang dewasa itu, hafalannya harus lebih baik dari anak kecil, bacaan Quran-nya juga harus lebih baik tajwidnya dari anak kecil. Jadi orang dewasa itu shalatnya harus lebih rajin dari anak kecil. Shalat wajibnya, shalat sunnahnya juga. Jadi orang dewasa itu harus bisa jadi Imam Shalat. Jadi orang dewasa itu seperti ini rupanya.
Jadi orang dewasa itu, harus punya ilmu, karena anak kecil suka banyak tanya. Jadi orang dewasa itu, menyenangkan karena sudah bisa madiri. Bisa mengurus hidup sendiri dan hidup orang lain. Punya tanggung jawab dan punya uang, jadi bisa ngejajajnin anak kecil deh. Ngajarin anak kecil ngurusin dirinya, bantuin anak kecil bikin PR dan melihat tingkah anak kecil yang menggemaskan. Ah, anak kecil, dikasih lihat mata melotot malah diketawain. Pingin marah malah ngakak jadinya. Huh, anak kecil, anak kecil. Hmm.
“Kamu lagi ngapain?” seseorang dari jenis orang dewasa duduk dengan secangkir kopi ditangannya.
“Aku lagi baca tulisan anak kecil.”
“Mana coba lihat.” Makhluk itu membaca lembar-lembar kertas yang ditumpahi huruf- huruf sambil menyeruput kopinya. Ia meletakkan kertas-kertas itu dan menutup sampulnya.
“Dasar anak kecil!” katanya sambil mengucek-ngucek rambut perempuan di sebelahnya. Perempuan itu hanya manyun, bola matanya menadah ke atas langit-langit, entah apa yang dilihatnya, sementara bibirnya seperti bisa dikuncir. Diam-diam ia bangkit dari kursinya dan mengikuti makhluk dari bangsa orang dewasa itu ke dapur.
“Kenapa belum tidur?”
Makhluk itu menoleh dua detik ke arah perempuan cantik di belakangnya lalu meneruskan langkahnya ke dapur dan diam saja.
“Kenapa belum tidur?”
Makhluk itu menoleh lagi dan diam lagi.
“Kenapa belum tidur?”
“Kenapa belum tidur?”
“Kenapa belum tidur?” perempuan itu terus mengekor seperti bayangan sambil mengulang-ulang pertanyaannya.
“Kenapa nanya berulang-ulang?”
“Katanya, aku anak kecil.”
“Hahahahaha” Tawa mereka memenuhi dapur dan seluruh ruangan yang ada di rumah itu.
“Aku kebangun. Udah waktunya sahur, cantik...besok kan hari Senin. Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa belum tidur?”
“Aku lagi ada kerjaan sedikit, besok udah harus kelar semuanya.” Gerak badannya langsung sigap menyiapkan makan sahur untuk suaminya.
Jadi orang dewasa itu ya begini, kalau sahur ada yang nemenin, buka puasa juga begitu. Kalau shalat ada yang ngimamin. Setelah jadi anak kecil, lalu jadi orang dewasa. Lalu? Jadi apa lagi ya? Hmm...
***

Rabu, 13 Desember 2017

Resensi Buku Robohnya Surau Kami_Oleh Asri Dyarti, M.Pd.



RESENSI BUKU
ROBOHNYA SURAU KAMI
Oleh: Asri Dyarti, M.Pd.




1. Identitas Buku
  • Pengarang                   : A. A. Navis
  • Judul                           : Robohnya Surau Kami
  • Tahun Terbit                : 2012
  • Cetakan                       : 18
  • Tempat Terbit              : Jakarta
  • Penerbit                       : Gramedia

2. Kepengarangan
A. A. Navis lahir 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia mendapat pendidikan di Perguruan Kayutanam. Pernah menjadi Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Bukit Tinggi (1952-1955), pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1982) dan sejak 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Karya-karyanya adalah Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Bertanya Kabau pada Pedati (2002), dan Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (2002).

3. Gambaran Umum Isi Buku
Robohnya Surau Kami adalah sebuah cerpen yang bercerita tentang seorang kakek yang sangat alim tetapi hidupnya berakhir dengan tidak baik. Kakek itu tinggal di sebuah surau untuk beribadah dan juga sebagai seorang pengasah pisau. Banyak warga yang mendatangi kakek itu untuk minta diasahkan pisaunya. Kakek itu tidak menentukan berapa tarif yang harus dibayar sebagai upah beliau. Kakek itu berteman dengan Ajo sidi. Ajo sidi adalah orang yang mengabarkan kepada warga bahwa Si Kakek mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di surau tersebut. Sejak saat itu, Surau tersebut menjadi sepi.
Selain dari cerpen tersebut, masih ada beberapa lagi cerpen di dalam buku ini. Cerpen tersebut adalah Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa. Cerpen-cerpen tersebut rata-rata berlatar di Sumatera Barat.

4. Keunggulan dan Kelemahan Buku
             Buku ini dengan latar Sumatera Barat pada zaman dahulu, sehingga dapat membawa kita berjalan-jalan ke Sumatera Barat pada masa itu. Cerita yang diangkat dalam buku ini bertema sosial. Ada tentang hubungan antara manusia dan manusia juga antara manusia dan Allah SWT. Banyak amanat yang dapat dipetik dari buku ini. Cocok dibaca oleh pelajar, mahasiswa dan umum.
           

Selasa, 22 Agustus 2017

Puisi "Lewat tengah Malam" karya Asri Dyarti





LEWAT TENGAH MALAM
karya Asri Dyarti
Sudah lewat pukul nol nol
Aku masih terjaga
Bersama tumpukan jadwal yang beberapa belum tercentang
Juga fonem-fonem yang dengan senang hati ku rangkai menjadi sesuatu
Untuk oleh-oleh merekaku di masa depan nanti
Seperti mereka yang menanam pohon untuk dinikmati manfaatnya di masa depan
Seperti itu juga yang aku lakukan malam ini
Menunaikan apa yang telah diniatkan sejak lama
Bukan janji pada siapa-siapa
Ini janji pada diri sendiri
Juga menyambung jari mereka terdahulu
Yang hasil keringat jarinya aku rasakan sejak dulu hingga kini

(Dyarti, 2016: 60)