Kamis, 14 Desember 2017

Cerpen_Catatan Anak Kecil_oleh Asri Dyarti



CATATAN ANAK KECIL
Oleh: Asri Dyarti

Kenapa orang dewasa itu main cinta-cintaan? Kenapa sih? Padahal waktu kecil mainannya lompat kodok, main congklak, main kejar-kejaran, main bola kasti, main mobil-mobilan. Kenapa orang dewasa itu kalau nangis masuk kamar? Padahal dulu waktu kecil nangisnya di tengah lapangan, di ruang tamu, di depan adik sama kakak, di depan teman-teman, di depan Ibu Guru. Kenapa sih orang dewasa begitu? Terus, habis itu orang dewasa main cemburu-cemburuan. Main marah-marahan, padahal selalu bilang sama anak kecil kalau nggak boleh marah-marah, nanti cepat tua. Kenapa orang dewasa itu suka begitu ya?
Kenapa sih orang dewasa itu kalau ketawa nunduk-nunduk? Padahal waktu kecil kalau ketawa mulutnya kebuka lebar. Kenapa orang dewasa itu suka telponan malam-malam, terus ponselnya dikunci. Terus kalau ada SMS masuk nggak boleh dibaca siapa-siapa. Kenapa sih orang dewasa itu suka dandan? Padahal waktu kecil, gosok gigi aja males, mesti diteriakin sama mamanya dulu baru deh ambil sikat gigi. Kenapa orang dewasa itu begitu ya?
Orang dewasa itu kadang-kadang suka nyalahin anak kecil. Ih, capek deh jadi anak kecil disalahin terus sama orang dewasa. Tapi, orang dewasa itu baik deh, suka jajanin anak kecil. Itu apa supaya dibilang baik ya? Hmm, tapi anak kecil ya sukanya emang diajak jajan sama jalan-jalan. Ih, orang dewasa begitu ya. Berarti kalau jadi orang dewasa itu harus punya banyak uang dong. Biar bisa beli apa aja. Bisa beli ini itu yang banyak. Terus dikasihin sama anak kecil, sama mama papanya juga. Habis itu beli kado ulang tahun dan traktir teman-teman. Pergi ke pesta dan pakai baju bagus. Baunya wangi karena orang dewasa suka pakai parfum.
Jadi orang dewasa itu kayanya capek deh. Harus pergi kuliah, harus pergi ke kantor, harus bisa pakai kendaraan, harus bisa masak, harus bisa ngurusin rumah dan pakaian. Kalau jadi anak kecil cuma pergi ke sekolah, jajan, main sama teman, jalan-jalan dan nonton film kartun. Jadi orang dewasa itu, kayanya repot deh, ada pengajian, ada arisan, jenguk orang sakit, gotong royong, banyak kerjanya deh. Kalau jadi anak kecil cuma diajak ikut dan main sama teman-teman.
***

Jadi orang dewasa itu tidak bisa main sama teman-teman seperti kecil dulu. Harus menurutp aurat, harus bertingkah yang sopan, harus bertutur yang santun. Cara bicara dan tertawanya harus berubah lebih baik. Jadi orang dewasa itu, hafalannya harus lebih baik dari anak kecil, bacaan Quran-nya juga harus lebih baik tajwidnya dari anak kecil. Jadi orang dewasa itu shalatnya harus lebih rajin dari anak kecil. Shalat wajibnya, shalat sunnahnya juga. Jadi orang dewasa itu harus bisa jadi Imam Shalat. Jadi orang dewasa itu seperti ini rupanya.
Jadi orang dewasa itu, harus punya ilmu, karena anak kecil suka banyak tanya. Jadi orang dewasa itu, menyenangkan karena sudah bisa madiri. Bisa mengurus hidup sendiri dan hidup orang lain. Punya tanggung jawab dan punya uang, jadi bisa ngejajajnin anak kecil deh. Ngajarin anak kecil ngurusin dirinya, bantuin anak kecil bikin PR dan melihat tingkah anak kecil yang menggemaskan. Ah, anak kecil, dikasih lihat mata melotot malah diketawain. Pingin marah malah ngakak jadinya. Huh, anak kecil, anak kecil. Hmm.
“Kamu lagi ngapain?” seseorang dari jenis orang dewasa duduk dengan secangkir kopi ditangannya.
“Aku lagi baca tulisan anak kecil.”
“Mana coba lihat.” Makhluk itu membaca lembar-lembar kertas yang ditumpahi huruf- huruf sambil menyeruput kopinya. Ia meletakkan kertas-kertas itu dan menutup sampulnya.
“Dasar anak kecil!” katanya sambil mengucek-ngucek rambut perempuan di sebelahnya. Perempuan itu hanya manyun, bola matanya menadah ke atas langit-langit, entah apa yang dilihatnya, sementara bibirnya seperti bisa dikuncir. Diam-diam ia bangkit dari kursinya dan mengikuti makhluk dari bangsa orang dewasa itu ke dapur.
“Kenapa belum tidur?”
Makhluk itu menoleh dua detik ke arah perempuan cantik di belakangnya lalu meneruskan langkahnya ke dapur dan diam saja.
“Kenapa belum tidur?”
Makhluk itu menoleh lagi dan diam lagi.
“Kenapa belum tidur?”
“Kenapa belum tidur?”
“Kenapa belum tidur?” perempuan itu terus mengekor seperti bayangan sambil mengulang-ulang pertanyaannya.
“Kenapa nanya berulang-ulang?”
“Katanya, aku anak kecil.”
“Hahahahaha” Tawa mereka memenuhi dapur dan seluruh ruangan yang ada di rumah itu.
“Aku kebangun. Udah waktunya sahur, cantik...besok kan hari Senin. Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa belum tidur?”
“Aku lagi ada kerjaan sedikit, besok udah harus kelar semuanya.” Gerak badannya langsung sigap menyiapkan makan sahur untuk suaminya.
Jadi orang dewasa itu ya begini, kalau sahur ada yang nemenin, buka puasa juga begitu. Kalau shalat ada yang ngimamin. Setelah jadi anak kecil, lalu jadi orang dewasa. Lalu? Jadi apa lagi ya? Hmm...
***

Rabu, 13 Desember 2017

Resensi Buku Robohnya Surau Kami_Oleh Asri Dyarti, M.Pd.



RESENSI BUKU
ROBOHNYA SURAU KAMI
Oleh: Asri Dyarti, M.Pd.




1. Identitas Buku
  • Pengarang                   : A. A. Navis
  • Judul                           : Robohnya Surau Kami
  • Tahun Terbit                : 2012
  • Cetakan                       : 18
  • Tempat Terbit              : Jakarta
  • Penerbit                       : Gramedia

2. Kepengarangan
A. A. Navis lahir 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia mendapat pendidikan di Perguruan Kayutanam. Pernah menjadi Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Bukit Tinggi (1952-1955), pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1982) dan sejak 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Karya-karyanya adalah Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Bertanya Kabau pada Pedati (2002), dan Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (2002).

3. Gambaran Umum Isi Buku
Robohnya Surau Kami adalah sebuah cerpen yang bercerita tentang seorang kakek yang sangat alim tetapi hidupnya berakhir dengan tidak baik. Kakek itu tinggal di sebuah surau untuk beribadah dan juga sebagai seorang pengasah pisau. Banyak warga yang mendatangi kakek itu untuk minta diasahkan pisaunya. Kakek itu tidak menentukan berapa tarif yang harus dibayar sebagai upah beliau. Kakek itu berteman dengan Ajo sidi. Ajo sidi adalah orang yang mengabarkan kepada warga bahwa Si Kakek mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di surau tersebut. Sejak saat itu, Surau tersebut menjadi sepi.
Selain dari cerpen tersebut, masih ada beberapa lagi cerpen di dalam buku ini. Cerpen tersebut adalah Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa. Cerpen-cerpen tersebut rata-rata berlatar di Sumatera Barat.

4. Keunggulan dan Kelemahan Buku
             Buku ini dengan latar Sumatera Barat pada zaman dahulu, sehingga dapat membawa kita berjalan-jalan ke Sumatera Barat pada masa itu. Cerita yang diangkat dalam buku ini bertema sosial. Ada tentang hubungan antara manusia dan manusia juga antara manusia dan Allah SWT. Banyak amanat yang dapat dipetik dari buku ini. Cocok dibaca oleh pelajar, mahasiswa dan umum.