KERUDUNG MERAH MARUN
Karya: Asri Dyarti
Pagi yang cerah dengan segala pernak-perniknya. Semua orang sibuk dengan aktifitasnya. Mereka yang bekerja di kantor sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang jari-jarinya tak henti menari di atas mesin ketik elektronik, ada hilir mudik membawa tumpukan kertas, ada yang jari-jarinya tak henti meneken, ada yang sibuk membuat kopi, teh, menyiapkan air putih untuk para pegawai dan ada juga yang dari pagi hingga sore menyapu dan mengepel di sana-sini.
Di sekolahan murid-murid dengan seragam sekolahya masing-masing sibuk dengan kertas-kertas dan pena atau pensil. Para guru sibuk menerangkan dan bermain spidol di papan tulis, sebagian ada yang menggunakan infokus dan buku. Seperti juga para dosen yang mengajar pagi-pagi mereka sudah berdiri di hadapan mahasiswanya untuk mentransfer ilmu yang lebih dulu mereka dapatkan ketimbang mahasiswanya. Bagi mahasiswa yang serius, ada yang mendengarkan, ada yang mencatat, ada juga yang langsung mengetik materi yang disampaikan dosen di kelas.
Beberapa mahasiswa yang masuk pada jam ke dua dan ketiga sudah menunggu di luar ruangan. Sambil menunggu dosen datang mereka berdiskusi, browsing materi, membaca buku, atau sekedar berhaha-hihi untuk menjaga silaturahmi sesama teman sambil menunggu dimulainya perkuliahan. Sebagian lagi ada yang mengunyah makanan di kantin karena belum sarapan di rumah, sebagian ada yang membuat tugas, sebagian lagi ada yang merepotkan tukang foto kopi hingga bercucuran keringatnya untuk memfoto kopi kertas-kertas dan membeli perlengkapan kuliah.
Beberapa aktifis kampus yang sedang tidak ada mata kuliah pada hari itu tetap datang ke kampus untuk menjalankan program kerja ormawa yang mereka bidangi. Ada yang menempel pengumuman di mading, ada yang rapat internal di taman kampus, ada yang sibuk bernegosiasi dengan dosen terkait pendanaan kegiatan, ada yang menjaga stand pendaftaran, ada yang sedang melaksanakan program kerjanya seperti seminar, lomba-lomba, dan lain sebagainya. Para mahasiswa itu beragam sekali pakaiannya. Ada yang berkaca mata, ada yang berkemeja, ada yang berbaju batik, ada yang berjilbab, ada yang memakai jam tangan, ada yang memakai ransel, ada yang memakai tas tangan, ada yang memakai tas selempang, ada yang berjaket, ada yang berkopiah, ada yang rambutnya di sanggul, diikat satu dan ada juga yang hanya di gerai. Tidak ada mahasiswa yang memakai kaos oblong di gedung kuliah itu dan mereka semuanya memakai sepatu. Wajah-wajah mereka berseri-seri karena ilmu yang mereka miliki.
Seorang mahasiswi bersanggul pemilik badan langsing dengan celana dasar hitam dan baju kemeja merah marun bejalan menyusuri koridor kampus. Tas selempang menjuntai di bahu kanannya dan ia memeluk beberapa buku besar yang tidak muat di masukkan ke dalam tasnya. Sejak turun dari motor hingga memasuki ruang kelas, aktifitas senyum sapa terus berlangsung, karena semua yang kuliah di gedung itu saling mengenal meskipun berbeda program studi. Ia bersyukur saat ia memasuki ruang kelas, perkuliahan belum dimulai dan baru ada beberapa orang di sana. Mereka sedang asyik mengobrol.
Hilya duduk di salah satu kursi kosong di kelasnya. Ia meletakkan tasnya dan buku-bukunya di atas kursi yang juga disertai meja itu. Beberapa temannya pamit ke luar sebentar. Lalu tinggallah ia berdua saja dengan seorang lelaki di kelas itu. Hilya duduk tepat di belakangnya. Hilya tidak tahu siapa laki-laki itu. Ia berjaket, beransel hitam dan sepatu keds putih. Hilya maju ke depan untuk menyapanya, mungkin anak baru, pikir Hilya.
“Hai, kamu anak baru ya?” sapa Hilya padanya.
Lelaki itu diam saja, kepalanya menunduk.
“Oh iya, namaku Hilya, nama kamu siapa?” lanjutnya lagi.
Lelaki itu masih tidak merespon Hilya.
“Kamu sakit?” Hilya mulai khawatir.
Lelaki itu menggeleng.
“Eh, kamu bukannya mahasiswa yang kuliahnya di ruang itu kan?” Hilya menunjuk sebuah ruangan di depan ruang kelasnya.
Lelaki itu diam saja.
“Kamu kenapa sih? Aku ada salah sama kamu ya? Kok kamu diem aja sih dari tadi?” tanya Hilya kesal.
“Haram bagi saya memandang aurat wanita yang bukan mahram saya” kata lelaki bermata bening itu dengan masih tertunduk.
“Apa kamu bilang? Aurat? Aurat yang mana? Kamu nggak lihat? Aku pakai celana panjang! Kemejaku berlengan panjang! Keterlaluan kamu!” kata Hilya.
“Ini untuk kamu.” Lelaki itu menyodorkan sebuah kerudung merah marun kepada Hilya. Kepalanya masih tertunduk.
Hilya mengambil jilbab itu.
Lelaki itu pergi ke luar ruangan. Kepalanya masih tertunduk.
Hilya membereskan barang-barangnya dan berlari dengan linangan air mata. Ia terisak-isak menyadari bahwa memang ada auratnya yang belum tertutup. Rambutnya yang hitam berkilau itu, rambutnya yang selalu ia sanggul itu, masih terlihat di mata makhluk-Nya. Hilya malu, dan merasa dipermalukan oleh lelaki itu. Hilya kesal. Hilya ingin berteriak. Tapi Hilya tidak tahu nama lelaki itu.
Seseorang menguncang-guncangkan badan Hilya, “Hei, bangun....bangun...Hilya, bangun...kamu ini mimpi apa kok tidur sambil nangis sesenggukan. Bangun Hilya, bangun....” Mama Hilya membangunkan Hilya.
Mata Hilya terbuka. Ia melihat Mamanya disampingnya. Hilya bersyukur cuma mimpi.
“Ayo cuci muka. Habis itu kita sahur.” Kata Mamanya.
Mata Hilya tertuju pada benda berwarna merah marun di ujung tempat tidurnya. “Itu apa, Ma?” tanya Hilya pada Mamanya.
“Itu kerudung buat kamu. Untuk lebaran nanti.” Kata Mamanya.
“Makasih, Ma.” Kata Hilya. Ia menggenggam benda itu dan bergumam sendiri, “Kok sama persis kayak yang di mimpi aku tadi sih? Ah, udah ah. Sahur dulu aja, ntar keburu imsak.
Menu sahur mereka saat itu adalah Pendap, Gulai Kepala Ikan, Sambal Terasi dan kerupuk udang. Ada buah pisang di atas meja, susu, dan madu. Mama Hilya memang sangat pandai dalam mengatur menu makanan keluarganya, terutama saat bulan Ramadhan. Setelah makan sahur, mereka menonton program Ramadhan di televisi sambil menunggu waktu imsak dan shalat subuh. Saat film religi kesayangan mereka sedang iklan, Hilya memindahkan canel TV ke stasiun lain. Ia memnyimak ceramah dari seorang ustad muda. Ustad muda itu sedang membahas tentang pentingnya menutup aurat bagi kaum hawa. Ia sedang menyampaikan isi kandungan surat An-Nur ayat ke 31, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya...”. Hilya sedang asyik menyimak ceramah itu tiba-tiba mati lampu.
Setelah menyalakan lilin, Hilya menghidupkan ponselnya. Mendengar lagu-lagu religi dari ponsel agar tidak mengantuk saat menunggu adzan subuh. Beberapa lagu religi dan nasyid mengalun merdu di telinga Hilya.
“Okey, pendengar setia, itu tadi single terakhir di sesi sahur kali ini, jangan pindah canel dari kita ya...karena waktu imsak sudah masuk, jadi ini dia satu pesan imsak hari hari ini....” suara merdu seorang penyiar radio favoritnya terdengar ceria.
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim).
“Nah, pendengar setia, gimana nih sahurnya tadi? Pasti menyenangkan ya..apalagi bagi yang menikmati santap sahur bersama keluarga tercinta...nah, pendengar setia apa yang dikatakan oleh pesan imsak itu bener banget ya, mau nggak sih kalian jadi perhiasan dunia? Hahaha..pastinya harus jadi wanita solehah, ya....hhmmm,,, pendengar setia, nanti kita bahas tentang apa itu wanita salehah setelah adzan subuh berikut ini. Selamat menunaikan shalat subuh....” suara penyiar itu menglun lagi.
Adzan berkumandang merdu membuka tirai malam. Matahari akan terbit sebentar lagi, orang-orang yang berjalan menuju masjid disambut butiran embun. Lampu-lampu jalan yang jingga membuat butiran embun bagaikan bayi salju. Gemericik air mengalir merdu membasuh anggota wudhu dengan sempurna. Hilya membaca doa setelah adzan, kemudian berwudhu, shalat subuh di kamarnya air matanya tumpah ruah di atas sajadahnya. Teringat mimpi saat ia tidur sebelum sahur, teringat dengan ceramah dan pesan imsak yang ia dengar di radio. Hilya berniat untuk berhijab dengan sebenar-benarnya berhijab. Hilya ingin menjadi wanita salehah dengan sebenar-benarnya salehah. Sudah bulat tekad Hilya untuk berjilbab.
***
Mata hari sudah terbit, cahayanya keemasan. Hilya duduk membaca buku di depan danau kampus yang tenang. Kerudungnya membuat wajah Hilya semakin teduh. Bola matanya yang bulat berbinar indah menyusuri tiap-tiap huruf yang terangkai indah. Beberapa mahasiswa datang membawa tumpukan buku duduk di kursi taman sebelahnya. Ada beberapa mahasiswi yang duduk di sana dengan minuman dingin dan makanan ringan. Mereka seperti kelompok belajar yang sedang mengerjakan tugas. Di sela-sela diskusi mereka bercanda dan tawa mereka di dengan oleh kura-kura dan ikan-ikan yang berada di danau kampus.
Hilya menutup bukunya, memasukkannya ke dalam tas dan ingin pindah ke ruang kelas karena perkuliahan akan segera di mulai. Hilya mennguju parkiran kampus untuk mengambil motornya. Seorang pemuda yang pakaiannya seperti di mimpi Hilya sedang melepaskan helm. Sepertinya ia baru saja tiba di sana.
“Kamil......Kamil....kami di sini....!” kata sekelompok mahasiswa di belakang mereka.
Lelaki itu menoleh. Ia tersenyum ke arah suara itu.
“Kamil...Kamil...kamu bawa oleh-olehnya, kan?” kata salah seorang mahasiswi cantik dari sana.
Lelaki itu tersenyum dan mengangkat kemasan oleh-oleh yang ia bawa ke arah mereka.
Hilya berjalan mendekati motornya yang berada di sebelah motor lelaki itu. Lelaki itu masih di sana. Ia sedang melepas jaket lalu memasukkan ke dalam ransel hitamnya. Ia tidak sengaja melihat Hilya. Ia memperhatikan Hilya yang hari itu telah berkerudung. Hilya sedang memakai sarung tangannya yang berwarna hijau muda. Saat Hilya memasang helm, ia mellihat kiri kanan untuk memastikan bahwa motornya bisa ke luar dari parkiran dengan aman. Hilya tidak sengaja melihat Kamil yang sedang mematung memperhatikannya. Mata mereka bertemu. Hilya mengingat-ngingat mimpinya tadi malam. Wajah itu, mirip sekali dengan yang ada di mimpi Hilya.
“Kamil....ayo cepat...kami tidak sabar ingin melihat oleh-oleh dari kamu!” teriak teman Kamil.
“Iya, Kamil..ceptlah ke sini...!” sambung temannya yang lain.
Kamil terkesiap dan bergegas menuju teman-temannya yang telah lama menunggunya. Hilya menjalankan motornya, ia hampir saja menglakson lelaki itu, karena ia berdiri di depan motor Hilya. Di atas motor Hilya berfikir, apakah Kamil itu adalah namanya? Hilya heran saja dengan apa yang baru saja dialaminya. Tapi Hilya berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia ingin fokus pada perkuliahannya hari itu.
Hilya sudah berada di ruang kelas dan menyimak materi yang disampaikan dengan dosennya. Sementara Kamil, dihujani celoteh teman-temannya tentang dirinya yang diperhatikan teman-temannya saat melihat Hilya. “Hahaha...Kamil cak orang didik...” kata temannya.
“Iyo nian tuh, baru kali ko la nyo cak itu dak...ngapo Mil? Kau sakit? Apo naksir?” sambung temannya yang lain.
“Cie.....hahahahaha.” teman-teman Kamil terus saja bercanda sambil membagi oleh-oleh yang di bawa Kamil. Sementara Kamil hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkah teman-temannya itu.
***