NASKAH DRAMA
JUDUL: MATI URUNG
Oleh : Asri Dyarti
Para Pemain:
Julia :
Seorang gadis yang putus asa
Wahyu : Seorang
penjual kaligrafi keliling
Sinopsis
Drama ini menggambarkan fenomena seorang gadis yang
putus asa. Gadis itu bernama Julia. Ia
berniat ingin bunuh diri karena merasa tidak pernah bahagia dan tidak disayangi
oleh orang-orang di sekelilingnya. Namun keinginan untuk bunuh diri tersebut
diurungkannya karena ia bertemu dengan seorang penjual kaligrafi keliling yang
kala itu mampir ke rumahnya.
Panggung
Panggung menggambarkan sebuah teras rumah yang sederhana.
Terdiri dari sebuah meja tamu dan sepasang kursi tamu. Di hadapan teras itu
terdapat sebuah halaman yang penuh dengan bunga-bunga dalam pot yang disusun rapi. Di bagian belakang teras
tersebut adalah jendela ruang tamu dan pintu masuk ke dalam rumah Julia.
Julia : (Muncul
dari dalam rumah menuju teras lalu duduk melamun di salah satu kursi tamu
yang ada di
teras).
Wahyu : (Membuka pagar rumah Julia,
melewati taman, lalu menghampiri Julia yang tengah melamun). “Permisi,
kaligrafinya Mbak?”
katanya. “Murah Mbak,
banyak pilihannya Mbak. Kalau tidak sesuai
dengan yang ini, saya bisa bawakan yang lain”, lanjutnya seraya menunggu respon
dari Julia.
Julia : “Maaf mas, saya tidak bisa membeli barang dagangan yang Mas bawa maupun
yang belum Mas bawa. Saya ini sudah
mau mati. Jadi mubazir nantinya”, jawab Julia dengan ekspresi wajah yang datar
dan tanpa melihat ke arah
si Penjual kaligrafi.
Wahyu : “Wah Mbak
ini, jangan begitu….lagian kalau
Mbak mati, kan masih ada
keluarga Mbak
menggunakan kaligrafi ini
sebagai hiasan dinding rumah. Yah anggap sajalah Mbak mau memberikan harta warisan kepada
mereka yang ditinggalkan”. (Ia menuturkannya dengan wajah yang penuh keheranan
tetapi tetap berusaha menjual dagangannya).
Julia : “Maksud kamu apa?”, tanyanya dengan penuh keheranan.
Wahyu : “Maksud saya ya setelah Mbak
membeli dagangan saya ini, Mbak
bisa mati dengan tenang”. (Wahyu menjawab dengan tetap berusaha menjualkan
barang dagangannya)
Julia : “Tolong tinggalkan rumah saya. Saya ingin bunuh diri sekarang
juga. Sebenarnya niat saya duduk di teras ini hanya untuk berpamitan kepada bunga-bunga
kesayangan saya. Tolonglah!” pintanya pada Wahyu dengan nada yang masih tetap
datar dan tatapan mata yang kosong.
Wahyu : “Baiklah. Tapi bolehkah saya meminta segelas air putih? Saya
sangat haus Mbak.
Anggap saja ini perbuatan baik yang terakhir Mbak lakukan sebelum Mbak mati”, pintanya
polos.
Julia : “Baiklah tunggu sebentar”. (Ia masuk ke dalam dan kembali lagi
ke teras dengan segelas air putih di tangannya). “Minumlah”, katanya sambil
memberikan gelas tersebut kepada Wahyu.
Wahyu : (Meminum air putih itu sedikit). “Mbak, masjid di sini di mana
ya?”, tanyanya lagi.
Julia : “Ada di belakang
rumah saya. Setelah keluar pagar nanti belok kanan, lalu ikuti jalan setapak
itu, nanti akan ketemu masjidnya”, jawabnya datar. “Kenapa tidak menghabiskan
air putih itu dan belum pergi dari sini?”, lanjutnya masih dengan nada datar.
Wahyu : “Saya numpang teduhan di sini Mbak.
Sampai waktu dhuhur tiba saja. Kalau Mbak
mau bunuh diri silahkan. Nanti setelah Mbak
mati biar saya yang akan panggilkan warga sekitar untuk mengurusi jenazah Mbak”. “Tapi, kalau saya
boleh tahu kenapa Mbak mau bunuh diri?”
Julia : (Dengan agak keberatan, ia mengizinkan Penjual kaligrafi itu untuk berteduh di
teras rumahnya tanpa
jawaban, anggukan, atau isyarat persetujuan lainnya kecuali dengan menjawab
pertanyaan Penjual kaligrafi tersebut). “Saya sudah bosan hidup Mas. Tidak ada lagi
orang yang menyayangi saya. Kalau saya tetap hidup, maka saya akan terus tidak
bahagia setiap hari”, tuturnya murung.
Wahyu : “Kata Val J. Peter dan Ron Herron, orang biasanya menjadi bahagia
bila mereka menjadikan pikiran mereka bahagia. Kenapa Mbak
tidak mencobanya sebelum Mbak
mati?”
Julia : “Sok tahu kamu!”. Untuk apa membuang-buang lagi waktuku hanya untuk
mengerjakan hal yang seperti
katamu tadi. Itu hanya akan sia-sia dan tidak akan membuat orang-orang
menyayangiku”. “Mantan pacarku tidak akan berubah untuk minta balikan atau
mengajakku menikah, keluargaku akan terus sibuk mengurusi urusan mereka
masing-masing, ekonomiku tetap akan beginni-begini saja. Lalu apa efek dari
kata-katamu yang sok
menggurui itu?” Jawabnya kesal.
Wahyu : “Mereka berbuat seperti itu pasti ada alasannya Mbak”. Ia menlanjutkan,
“Keagungan hidup ada pada mencintai, bukan dicintai, memberi, bukan diberi,
melayani, bukan dilayani. Kata-kata itu saya kutip masih dari buku yang sama Mbak.”
Julia : “Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu tidak dalam posisi
saya yang terus-menerus mengalami masalah hidup yang sulit yang
bertumpuk-tumpuk”, sanggahnya.
Wahyu : “Masih menurut Val J.
Peter dan Ron Herron,
persoalan-persoalan hidup dimaksudkan untuk
menjadikan kita lebih baik bukan tambah tercekik”, jawabnya. “Selain itu, saya
yakin bahwa saya,
Mbak dan semua orang
pasti tahu bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya. Sepertinya Mbak perlu menyelsaikan
masalah tersebut
satu persatu. Jangan langsung mau mati seperti ini”, tambahnya.
Julia : “Dan menyelasaikan
permasalahan seorang diri adalah hal yang membuat saya semakin
tidak bahagia”.
Wahyu : “Ada pepatah yang mengatakan bahwa orang yang tidak pernah bahagia
adalah orang yang egois. Karena ia hanya berfokus pada kebahagiaan dirinya sendiri.
Cobalah anda lihat orang-orang yang di sekeliling anda. Tidakkah turut anda
merasa bahagia atas kebahagiaan mereka?”. (Ia mengucapkannya dengan serius).
Julia : “Mengapa kamu berbicara demikian dengan saya? Bukankah kita
ini baru kenal dan tidak ada hubungan apa-apa selain yang saat ini sedang
berlangsung di teras rumah saya? (Ia mulai geregetan).
Wahyu : “Maaf kalau saya lancang
dengan perkataan demikian, tetapi saya hanya ingin membuat Mbak mengurungkan niat Mbak yang ingin mati
itu.”
Julia : “Percuma. Keputusan saya sudah bulat. Saya tetap akan mati
hari ini”
Wahyu: “HAHHAHA……bagaimana caranya Mbak bisa mati hari
ini?”
Julia :“Tolong jangan tertawakan saya seperti itu. Saya akan mati
dengan bunuh diri. Mengerti!” (Manahan kemarahan)
Wahyu : “Maaf,,maaf..kalau begitu izinkan saya untuk menebus kesalahan
saya dengan membantu Mbak
bunuh diri. Tunggu sebentar!” (Ia
berlari ke warung di seberang rumah Julia lalu kembali lagi dengan kantong plastik di tangannya)
Julia : “Apa isi kantong plastik
itu?” (tanyanya dengan penuh penasaran)
Wahyu : “Ini saya belikan baygon cair, silet, cutter, gunting, parang, tali tambang, obat tidur yang banyak,
racun tiukus, racun rumput, karung, kain panjang dan kapur barus”, ujarnya
memberi penjelasan.
Julia : (Ternganga). “Untuk apa semua barang-banrang itu?”, tanyanya
penasaran.
Wahyu : “Semua barang itu mnerupakan peralatan untuk bunuh diri kecuali
kain panjang dan kapur barus mungkin dapat dimanfaatkan setelah mbak meninggal,
soalnya saya belum bisa membelikan kain kafan unutk Mbak. Silahkan Mbak mau pilih yang
mana? Insya Allah saya akan bantu, mbak.”, jawabnya polos.
Julia : “Kamu keterlauan!”, katanya dengan berlinang air mata.
Wahyu : “Lho, kenapa menangis mbak? Saya salah lagi ya? Maaf kalau begitu.
Ohya, jam berapa Mbak
mau bunuh diri? Usahakan sebelum dhuhur ya Mbak,
supaya saya bisa
bantu. Siapa tahu mbak mau dibantu membuat tali tempat gantung diri. Tapi kalau
sudah dhuhur, saya sudah di masjid Mbak.
Saya hanya mau menepati janji saya kepada Mbak
untuk teduhan di sini hanya sampai
waktu dhuhur saja.” (Ia menyampaikannya masih dengan wajah yang polos).
Julia tidak menjawab, hanya saja suara tangisnya
berubah menjadi semakin dalam. Ia menekuk wajah dalam tangisnya. Ia berlari ke dalam dan kembali lagi dengan
sebuah dompet.
Julia : “Berapa harga kaligrafi itu. Saya beli satu, tolong pilihkan
yang paling bagus menurut kamu”, ujarnya sambil menghapus air mata.
Wahyu : “Wah, jangan Mbak,
saya tidak jadi menjualnya. Mungkin benar kata Mbak tadi, nanti mubazir. Lagi pula sebentar
lagi Mbak kan mau bunuh
diri?” jawabnya masih dengan nada polos.
Julia : “Saya tidak jadi bunuh diri.”
Wahyu : “Kenapa?”
Julia : “Karena masih ada yang peduli dengan hidup saya.”
Wahyu : “Siapa?”
Julia : “Kamu.”
Wahyu : “Maksudnya?”
Julia : “Saya sudah berniat akan bunuh diri karena saya merasa hidup
saya hanya dipenuhi dengan berbagai
permasalahan dan tidak ada lagi yang peduli dengan saya”, tuturnya sedih. “Akan
tetapi saya akan menggagalkan niat saya jika ada orang masih ada orang yang
peduli dengan saya”, tambahnya lagi seraya tersenyum.
Wahyu : “Kepedulian apa yang telah saya berikan
kepada Mbak? Bukankah dari tadi saya hanya
merepotkan Mbak
dan selalu membuat kesalahan?”, tanyanya pura-pura tidak mengerti.
Julia : “Mas sudah menasehati saya, memngingatkan saya dan memfasilitasi
kebutuhan untuk saya bunuh diri. Terima kasih ya. Maka dari itu, izinkan saya
untuk membeli sebuah kaligrafi ini”, (Jawabnya ramah).
Wahyu : “Oh kalau yang itu biasa saja Mbak.
Bukankah kita wajib untuk saling mengingatkan?!”, jawabnya ramah. Pilih saja
mbak mau yang mana?”
Julia : “Saya mau yang itu. Kaligrafi ayat kursi yang warna ungu.
Berapa harganya?”
Wahyu : “Rp 1.000.000.000,00 Mbak”
(Jawabnya bohong)
Julia : “Ok. Saya akan bayar tanpa menawarnya, karena kamu sudah
begitu baik dengan saya. Tapi sepertinya uang di dompet saya ini kurang, tunggu
sebentar ya Mas, saya ambil uangnya” (Bergegas ke dalam untuk mengambil uang).
Julia kembali lagi ke teras dengan membawa uang 1
juta dan celingukan mencari dan memanggil-manggil penjual kaligrafi itu. Ia
mencari-cari ke sekeliling rumah dan tidak mendapati penjual kaligrafi itu.
Lalu ia kembali ke teras dan melihat sebuah kaligrafi yang ingin ia beli tadi
terduduk manis di atas meja tamu. Di depannya ada secarik kertas. Julia
mengambil kertas itu. Dibaliknya ada tulisan:
Terima kasih
untuk segelas air putihnya dan telah mengizinkan
saya untuk teduhan di sini sambil menunggu waktu dhuhur. Tadi, saya pergi
ketika adzan terdengar dari arah masjid, tapi saya tidak shalat di masjid itu,
melainkan di masjid yang berbeda. Kaligrafi itu saya berikan kepada Mbak sebagai cindera
mata karena hari ini saya mendapat teman baru seperti mbak. Semoga Mbak tidak keberatan
jika saya jadikan teman.
Wassalam(Wahyu)
***