Kamis, 22 September 2016

Naskah Drama berjudul "Mati Urung" karya Asri Dyarti



NASKAH DRAMA
JUDUL: MATI URUNG
Oleh : Asri Dyarti

Para Pemain:
Julia     : Seorang gadis yang putus asa
Wahyu : Seorang penjual kaligrafi keliling
Sinopsis
Drama ini menggambarkan fenomena seorang gadis yang putus asa. Gadis itu bernama Julia. Ia berniat ingin bunuh diri karena merasa tidak pernah bahagia dan tidak disayangi oleh orang-orang di sekelilingnya. Namun keinginan untuk bunuh diri tersebut diurungkannya karena ia bertemu dengan seorang penjual kaligrafi keliling yang kala itu mampir ke rumahnya.

Panggung
Panggung menggambarkan sebuah teras rumah yang sederhana. Terdiri dari sebuah meja tamu dan sepasang kursi tamu. Di hadapan teras itu terdapat sebuah halaman yang penuh dengan bunga-bunga dalam pot yang disusun rapi. Di bagian belakang teras tersebut adalah jendela ruang tamu dan pintu masuk ke dalam rumah Julia.
Julia     : (Muncul dari dalam rumah menuju teras lalu duduk melamun di salah satu kursi tamu
  yang ada di teras).
Wahyu : (Membuka pagar rumah Julia, melewati taman, lalu menghampiri Julia yang tengah melamun). “Permisi, kaligrafinya Mbak?” katanya. “Murah Mbak, banyak pilihannya   Mbak. Kalau tidak sesuai dengan yang ini, saya bisa bawakan yang lain”, lanjutnya seraya menunggu respon dari Julia.
Julia     : “Maaf mas, saya tidak bisa membeli barang dagangan yang Mas bawa maupun yang  belum Mas bawa. Saya ini sudah mau mati. Jadi mubazir nantinya”, jawab Julia dengan ekspresi wajah yang datar dan tanpa melihat ke arah si Penjual kaligrafi.
Wahyu : “Wah Mbak ini, jangan begitu….lagian kalau Mbak mati, kan masih ada keluarga Mbak menggunakan kaligrafi ini sebagai hiasan dinding rumah. Yah anggap sajalah Mbak mau memberikan harta warisan kepada mereka yang ditinggalkan”. (Ia menuturkannya dengan wajah yang penuh keheranan tetapi tetap berusaha menjual dagangannya).
Julia     : “Maksud kamu apa?”, tanyanya dengan  penuh keheranan.
Wahyu : “Maksud saya ya setelah Mbak membeli dagangan saya ini, Mbak bisa mati dengan tenang”. (Wahyu menjawab dengan tetap berusaha menjualkan barang dagangannya)
Julia     : “Tolong tinggalkan rumah saya. Saya ingin bunuh diri sekarang juga. Sebenarnya niat saya duduk di teras ini hanya untuk berpamitan kepada bunga-bunga kesayangan saya. Tolonglah!” pintanya pada Wahyu dengan nada yang masih tetap datar dan tatapan mata yang kosong.
Wahyu : “Baiklah. Tapi bolehkah saya meminta segelas air putih? Saya sangat haus Mbak. Anggap saja ini perbuatan baik yang terakhir Mbak lakukan sebelum Mbak mati”, pintanya polos.
Julia     : “Baiklah tunggu sebentar”. (Ia masuk ke dalam dan kembali lagi ke teras dengan segelas air putih di tangannya). “Minumlah”, katanya sambil memberikan gelas tersebut kepada Wahyu.
Wahyu : (Meminum air putih itu sedikit). “Mbak, masjid di sini di mana ya?”, tanyanya lagi.
Julia     : “Ada di belakang rumah saya. Setelah keluar pagar nanti belok kanan, lalu ikuti jalan setapak itu, nanti akan ketemu masjidnya”, jawabnya datar. “Kenapa tidak menghabiskan air putih itu dan belum pergi dari sini?”, lanjutnya masih dengan nada datar.
Wahyu : “Saya numpang teduhan di sini Mbak. Sampai waktu dhuhur tiba saja. Kalau Mbak mau bunuh diri silahkan. Nanti setelah Mbak mati biar saya yang akan panggilkan warga sekitar untuk mengurusi jenazah Mbak”. “Tapi, kalau saya boleh tahu kenapa Mbak mau bunuh diri?”
Julia     : (Dengan agak keberatan, ia mengizinkan Penjual kaligrafi itu untuk berteduh di teras rumahnya tanpa jawaban, anggukan, atau isyarat persetujuan lainnya kecuali dengan menjawab pertanyaan Penjual kaligrafi tersebut). “Saya sudah bosan hidup Mas. Tidak ada lagi orang yang menyayangi saya. Kalau saya tetap hidup, maka saya akan terus tidak bahagia setiap hari”, tuturnya  murung.
Wahyu : “Kata Val J. Peter dan Ron Herron, orang biasanya menjadi bahagia bila mereka menjadikan pikiran mereka bahagia. Kenapa Mbak tidak mencobanya sebelum Mbak mati?”
Julia     : “Sok tahu kamu!”. Untuk apa  membuang-buang lagi waktuku hanya untuk mengerjakan hal yang seperti katamu tadi. Itu hanya akan sia-sia dan tidak akan membuat orang-orang menyayangiku”. “Mantan pacarku tidak akan berubah untuk minta balikan atau mengajakku menikah, keluargaku akan terus sibuk mengurusi urusan mereka masing-masing, ekonomiku tetap akan beginni-begini saja. Lalu apa efek dari kata-katamu yang sok menggurui itu?” Jawabnya kesal.
Wahyu : “Mereka berbuat seperti itu pasti ada alasannya Mbak”. Ia menlanjutkan, “Keagungan hidup ada pada mencintai, bukan dicintai, memberi, bukan diberi, melayani, bukan dilayani. Kata-kata itu saya kutip masih dari buku yang sama Mbak.”
Julia     : “Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu tidak dalam posisi saya yang terus-menerus mengalami masalah hidup yang sulit yang bertumpuk-tumpuk”, sanggahnya.
Wahyu : “Masih menurut Val J. Peter dan Ron Herron, persoalan-persoalan hidup dimaksudkan untuk menjadikan kita lebih baik bukan tambah tercekik”, jawabnya. “Selain itu, saya yakin bahwa saya, Mbak dan semua orang pasti tahu bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya. Sepertinya Mbak perlu menyelsaikan masalah tersebut satu persatu. Jangan langsung mau mati seperti ini”, tambahnya.
Julia     : “Dan menyelasaikan  permasalahan seorang diri adalah hal yang membuat saya semakin tidak bahagia”.
Wahyu : “Ada pepatah yang mengatakan bahwa orang yang tidak pernah bahagia adalah orang yang egois. Karena ia hanya berfokus pada kebahagiaan dirinya sendiri. Cobalah anda lihat orang-orang yang di sekeliling anda. Tidakkah turut anda merasa bahagia atas kebahagiaan mereka?”. (Ia mengucapkannya dengan serius).
Julia     : “Mengapa kamu berbicara demikian dengan saya? Bukankah kita ini baru kenal dan tidak ada hubungan apa-apa selain yang saat ini sedang berlangsung di teras rumah saya? (Ia mulai geregetan).
Wahyu : “Maaf kalau saya lancang dengan perkataan demikian, tetapi saya hanya ingin membuat Mbak mengurungkan niat Mbak yang ingin mati itu.”
Julia     : “Percuma. Keputusan saya sudah bulat. Saya tetap akan mati hari ini”
Wahyu: “HAHHAHA……bagaimana caranya Mbak bisa mati hari ini?”
Julia     :“Tolong jangan tertawakan saya seperti itu. Saya akan mati dengan bunuh diri. Mengerti!” (Manahan kemarahan)
Wahyu : “Maaf,,maaf..kalau begitu izinkan saya untuk menebus kesalahan saya dengan membantu Mbak bunuh diri. Tunggu sebentar!” (Ia berlari ke warung di seberang rumah Julia lalu kembali lagi dengan kantong plastik di tangannya)
Julia     : “Apa isi kantong plastik itu?” (tanyanya dengan penuh penasaran)
Wahyu : “Ini saya belikan baygon cair, silet, cutter, gunting, parang, tali tambang, obat tidur yang banyak, racun tiukus, racun rumput, karung, kain panjang dan kapur barus”, ujarnya memberi penjelasan.
Julia     : (Ternganga). “Untuk apa semua barang-banrang itu?”, tanyanya penasaran.
Wahyu : “Semua barang itu mnerupakan peralatan untuk bunuh diri kecuali kain panjang dan kapur barus mungkin dapat dimanfaatkan setelah mbak meninggal, soalnya saya belum bisa membelikan kain kafan unutk Mbak. Silahkan Mbak mau pilih yang mana? Insya Allah saya akan bantu, mbak.”, jawabnya polos.
Julia     : “Kamu keterlauan!”, katanya dengan berlinang air mata.
Wahyu : “Lho, kenapa menangis mbak? Saya salah lagi ya? Maaf kalau begitu. Ohya, jam berapa Mbak mau bunuh diri? Usahakan sebelum dhuhur ya Mbak, supaya saya bisa bantu. Siapa tahu mbak mau dibantu membuat tali tempat gantung diri. Tapi kalau sudah dhuhur, saya sudah di masjid Mbak. Saya hanya mau menepati janji saya kepada Mbak untuk teduhan di sini hanya sampai waktu dhuhur saja.” (Ia menyampaikannya masih dengan wajah yang polos).
Julia tidak menjawab, hanya saja suara tangisnya berubah menjadi semakin dalam. Ia menekuk wajah dalam tangisnya.  Ia berlari ke dalam dan kembali lagi dengan sebuah dompet.
Julia     : “Berapa harga kaligrafi itu. Saya beli satu, tolong pilihkan yang paling bagus menurut kamu”, ujarnya sambil menghapus air mata.
Wahyu : “Wah, jangan Mbak, saya tidak jadi menjualnya. Mungkin benar kata Mbak tadi, nanti mubazir. Lagi pula sebentar lagi Mbak kan mau bunuh diri?” jawabnya masih dengan nada polos.
Julia     : “Saya tidak jadi bunuh diri.”
Wahyu : “Kenapa?”
Julia     : “Karena masih ada yang peduli dengan hidup saya.”
Wahyu : “Siapa?”
Julia     : “Kamu.”
Wahyu : “Maksudnya?”
Julia     : “Saya sudah berniat akan bunuh diri karena saya merasa hidup saya hanya dipenuhi dengan berbagai permasalahan dan tidak ada lagi yang peduli dengan saya”, tuturnya sedih. “Akan tetapi saya akan menggagalkan niat saya jika ada orang masih ada orang yang peduli dengan saya”, tambahnya lagi seraya tersenyum.
Wahyu :  “Kepedulian apa yang telah saya berikan kepada Mbak? Bukankah dari tadi saya hanya merepotkan Mbak dan selalu membuat kesalahan?”, tanyanya pura-pura tidak mengerti.
Julia     : “Mas sudah menasehati saya, memngingatkan saya dan memfasilitasi kebutuhan untuk saya bunuh diri. Terima kasih ya. Maka dari itu, izinkan saya untuk membeli sebuah kaligrafi ini”, (Jawabnya ramah).
Wahyu : “Oh kalau yang itu biasa saja Mbak. Bukankah kita wajib untuk saling mengingatkan?!”, jawabnya ramah. Pilih saja mbak mau yang mana?”
Julia     : “Saya mau yang itu. Kaligrafi ayat kursi yang warna ungu. Berapa harganya?”
Wahyu : “Rp 1.000.000.000,00 Mbak” (Jawabnya bohong)
Julia     : “Ok. Saya akan bayar tanpa menawarnya, karena kamu sudah begitu baik dengan saya. Tapi sepertinya uang di dompet saya ini kurang, tunggu sebentar ya Mas, saya ambil uangnya” (Bergegas ke dalam untuk mengambil uang).
Julia kembali lagi ke teras dengan membawa uang 1 juta dan celingukan mencari dan memanggil-manggil penjual kaligrafi itu. Ia mencari-cari ke sekeliling rumah dan tidak mendapati penjual kaligrafi itu. Lalu ia kembali ke teras dan melihat sebuah kaligrafi yang ingin ia beli tadi terduduk manis di atas meja tamu. Di depannya ada secarik kertas. Julia mengambil kertas itu. Dibaliknya ada tulisan:
Terima kasih untuk segelas air putihnya dan telah mengizinkan saya untuk teduhan di sini sambil menunggu waktu dhuhur. Tadi, saya pergi ketika adzan terdengar dari arah masjid, tapi saya tidak shalat di masjid itu, melainkan di masjid yang berbeda. Kaligrafi itu saya berikan kepada Mbak sebagai cindera mata karena hari ini saya mendapat teman baru seperti mbak. Semoga Mbak tidak keberatan jika saya jadikan teman.
Wassalam
(Wahyu)

                                                                           ***

Rabu, 21 September 2016

Essai tentang Kebahasaan dan kesastraan, "Seni Bertutur" oleh Asri Dyarti, S.Pd.



SENI BERTUTUR
Oleh: Asri Dyarti, S.Pd.

Seni bertutur adalah seni dalam berbicara. Ketika manusia berbicara berarti ada pesan yang ingin disampakannya lewat tuturan tersebut. Pesan yang ingin disampaikan bisa berupa nasehat, berita, bujukan, rayuan, ajakan, cerita lucu, curhat, kemarahan, permintaan, atau pengungkapan sesuatu. Ketika seseorang bertutur dengan mitra tuturnya, maka orang itu telah melakukan dialog. Namun, apapila hanya bertutur dengan dirinya sendiri disebut dengan komunikasi internal. Biasanya manusia melakukakn tuturan dengan dirinya sendiri ketika sedang sendirian. Hal itu biasanya hanyalah pemikiran dalam hatinya atau bentuk-bentuk fikiran yang terlintas yang sedang dipilih-pilih mana yang pantas dilafadzkan dan mana yang tidak pantas dilafadzkan. Sesuatu yang berada dalam fikiran manusia lalu dilafadzkan disebut dengan tuturan, namun jika sesuatu itu tidak pantas dilafadzkan, biasanya hanya disimpan dalam hati saja. Hal itu biasanya dilakukan untuk menjaga perasaan orang lain dan citra diri sendiri, sebab manusia dibesarkan dalam pola asuh sopan dan santun. Sopan dalam tindakan dan santun dalam berbicara. Seni bertutur ini sangat erat kaitannya dengan kesantunan berbahasa.
Pada saat manusia berbicara, mereka menggunakan diksi atau pilihan kata yang sesuai dengan konteks pembicaraan mereka. Diksi ini atau pilihan kata ini sangat penting, karena ada beberapa diksi yang memiliki makna ambigu yang dapat memicu perselisihan apabila dituturkan pada konteks yang tidak tepat. Selain diksi, manusia juga terkadang menggunakan analogi untuk menyampaikan maksud dari pesan yang ingin dikomunikasikanya kepada mitra tuturnya. Kemudian, manusia Indonesia terkadang menggunakan peribahasa dalam bertutur. Peribahasa ini memiliki makna konotasi yang harus diterjemahkan dalam makna denotasi atau makna sebenarnya. Peribahasa ini adalah bagian dari seni bertutur yang telah membudaya sejak zaman nenek moyang yang kelestarianya tetap terjaga hingga saat ini. Salah satu dari contoh peribahasa yang sering kali digunakan sebagai prinsip hidup adalah “Dimana Bumi dipijak, Disitu langit dijunjung” dan “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
Dua peribahasa tersebut mengajarkan kita untuk mampu menyesuaikan diri dengan adat dan kebudayaan tempat kita tinggal. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam adat istiadat dan kebudayaan. Bahasa yang digunakan pun sangat beragam, bahkan dalam satu provinsi pun terdapat lebih dari satu bahasa daerah, namun semua masyarakat Indonesia memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Selain itu, dua peribahasa tersebut juga mengajarkan kita untuk membedakan cara bertutur kita ketika dengan anak-anak, orang tua, rekan kerja, teman sejawat, tetangga, dan guru atau dosen kita, dengan tamu, tuan rumah, dan lain sebagainya. Contohnya, kita tidak mungkin menggunakan sapaan ‘Anda’ ketika kita berbicara dengan orang tua kita atau sedang bercanda dengan balita. Kita juga tidak mungkin menggunakan kata ‘Mamam dan bobok’ pada saat berbicara dengan rekan kerja dalam ruang rapat atau situasi formal lainnya.
Selain dari itu, dalam seni bertutur, kita juga harus  menggunakan intonasi bicara yang sesuai. Ekspresi wajah saat berbicara pun sangat berperan dalam seni berbicara. Jika kesemuanya dapat diterapkan dengan baik dalam kehidupan kita sehari-hari, maka pesan yang ingin disampaikan dari penutur kepada mitra tutur akan dapat diterima dengan baik maknanya. Jadi seni berbicara itu berhubungan erat dengan diksi, analogi, peribahasa, kesantunan berbahasa, intonasi bicara, dan ekpresi wajah saat bicara.
***

Rabu, 14 September 2016

Puisi " Surat untuk Perempuan" karya Asri Dyarti



Surat untuk Perempuan
karya Asri Dyarti

Dengan hormat,
Wahai perempuan jadilah seorang wanita
Lalu kau boleh jadi perempuan setelahnya
Atau jadilah keduanya, yaitu wanita yang perempuan
Jadilah makhluk merdeka yang mandiri dan dicintai
Sebab segalanya bisa terjadi di dunia ini
Dan perempuan akan selalu menjadi terdakwa di mata dunia hingga akhir zaman
Pahit memang, tapi itulah kenyataannya
Kecuali jika engkau menjadi wanita
Engkau akan punya dua sayap yang lebar dan indah
Bercahayalah seperti purnama
Berkilaulah seperti bintang
Sejuklah seperti angin dan embun
Hangatlah seperti matahari
Berdurilah seperti mawar
Perempuan bisa saja menjadi pesakitan
Tapi itu tidak berlaku bagi wanita
Bangunlah dirimu untuk kecintaanmu
Bangunlah dirimu untuk bangsamu
Sebagai wanita merdeka untuk bangsa yang merdeka
Simpan surat ini baik-baik bersama cita-cita luhurmu sebagai seorang wanita
Hormat saya,
Wanita seperempat abad